David Easton (1953), seorang ilmuwan politik dari Harvard University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik. Sebagai pendukung setia aliran behavioralisme, Easton berusaha keras mengantarkan politik menjadi ilmu setara dengan ilmu alam dengan mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah saintifik seperti generalisasi, abstrak, validitas, dan sebagainya untuk mengukur tingkah laku politik seseorang. Hasrat kuat untuk memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan (science) ditempuh dengan cara menciptakan model abstrak, mempolakan rutinitas dan proses politik secara umum. Model seperti ini menurut Easton, memiliki tingkat abstraksi saintifik sangat tinggi, sehingga generalisasi politik sebagai ilmu akan tercapai. Menurut Easton, politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan kumpulan dari beberapa masalah yang harus dipecahkan.
Easton menganggap politik sebagai organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup. Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan dan bereproduksi, dan terutama, berubah. Easton menggambarkan politik dalam keadaan selalu bergejolak, menolak ide “equilibrium,” yang mempengaruhi teori politik masa kini (lihat teori institusionalisme). Lebih jauh, Easton menolak ide bahwa politik dapat dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan analisis. Oleh karena itu, abstraksi Easton dapat diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.
Hasil karya pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat ditemukan di tiga volume buku yaitu: “The Political System” (1964); “A Framework for Political Analysis” (1965); dan yang paling penting adalah “A Systems Analysis of Political Life” (1979).
Fokus perhatian Easton bersumber pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada perubahan. Dalam menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya melakukan penelitian akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.,
Secara sederhana Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem politik sama seperti halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang kesemuanya merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar. Namun demikian, sistem politik menurut pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan yang mengikat semua anggota dalam sistem.
Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga dimensi: polity, politik, dan policy (kebijakan). Polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu, struktur dari norma, bagaimana prosedur mengatur institusi mana yang semestinya ada dalam politik. Politik dari dimensi prosedural lebih mengarah pada proses membuat keputusan, mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dimensi ini melingkupi beberapa isu klasik yang berkaitan dengan ilmu politik, seperti siapa yang dapat memaksakan kepentingannya? mekanisme seperti apa yang berlangsung dalam menangani konflik? dsbnya. Dan terakhir adalah policy sebagai dimensi politik, melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem administratif, menghasilkan keputusan yang mengikat bagi semua. Easton berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami realitas politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.
Fokus pendekatan sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan dukungan, sebagai prasyarat sebelum memasuki proses konversi dalam sistem politik. Setelah melalui proses konversi barulah keluar keputusan mengikat seluruh anggota masyarakat dalam bentuk hukum ataupun perundangan. Hukum dan perundangan tersebut, pada gilirannya, akan menciptakan reaksi berupa opini dalam masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan kembali menciptakan tuntutan dan atau dukungan baru.
Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki batasan (misal, semua sistem politik mempunyai batas yang jelas) dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model sistem politik terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem politik.
Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan elemen politik ke dalam teori analisa sistem. Proses penggabungan akan membuka peluang untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena: (1) sifatnya yang mutlak; (2) teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik; (3) teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan); (4) teori ini mengingkari keberadaan suatu negara; (5) teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi. (lihat autoriarianianisme).
Berangkat dari kelemahan tersebut, lahirlah kemudian turunan teori sistem politik Almond dengan pendekatan struktural-fungsional, meninjau sistem politik suatu negara dari struktur dan fungsi institusi yang ada sebagai suatu bagian integral dari sistem politik dunia. Dalam hal ini sistem politik tidak memungkiri adanya pengaruh sistem politik dunia yang dominan seperti halnya negara-negara adidaya, contoh: Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia satu-satunya pasca kejatuhan Uni Soviet di tahun 1991.
Oleh karena itu, pendekatan struktural-fungsional sistem politik akan melengkapi pemahaman terhadap sistem politik yang sudah terlebih dulu dirumuskan oleh Easton.
Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik
Di tahun 1970-an, ilmuwanpolitik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik (comparative politics). Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik, tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup perbandingan politik seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi.
Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu. Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di dalamnya. Pemerintah atau negara merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.
Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang sama—atau input dan output. Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri.
Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.
Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan nilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga, sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam masyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses, dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi warga negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana sistem politik menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan duduk dalam kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun sistem politik.
Dalam sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sampai terjun dalam peperangan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan kebijakan.
Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja. Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan. Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.
Agar bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi) ke dalam alternatif pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau jaminan sosial lebih tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat dimobilisasi. Alternatif pilihan kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi pemerintahan akan mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan mendapatkan legitimasi. Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan apabila ada yang mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses pengadilan.
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional dalam memahami sistem masih banyak kekurangan. Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol, mengenai studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan mengamati perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan lembaga-lembaga yang ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang berbeda, sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic developmental atau pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan struktural fungsional dalam memahami sistem politik.
Namun demikian, pendekatan struktural-fungsional ternyata belum cukup lengkap dalam menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada. Faktor budaya politik (political culture) sebagai bagian penting dari sistem politik yang sangat berkaitan erat dengan sejarah perjalanan suatu bangsa. Terpisah dari siapa yang memaknai dan mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis akan berperan penting sebagai pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.
Oleh karena itu penggabungan antara pendekatan analisa sistem, pendekatan struktural-fungsional dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita akan sistem politik Indonesia yang sedang dipelajari. Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam sistem politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga eksekutif, lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan dapat kita prediksi kecenderungannya di masa mendatang.